Rabu, 15 April 2020

KESEHATAN MENTAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Mental illness and Islam | uleadme's Blog


Stigma merupakan sebuah fenomena sosial tentang sikap masyarakat terhadap individu yang mengalami gangguan jiwa serta menunjukkan abnormalitas pada pola perilakunya, serta dipandang memiliki identitas sosial yang menyimpang, sehingga membuat masyarakat tidak dapat menerima sepenuhnya. Akibatnya, sikap masyarakat menjadi cenderung mendeskreditkan dan diskriminatif.
Stigma yang paling umum terjadi, ditimbulkan oleh pandangan sebagian masyarakat yang mengidentikkan gangguan jiwa dengan “orang gila”. Oleh karena gejala-gejala yang dianggap aneh dan berbeda dengan orang normal, masih banyak orang yang menanggapi penderita gangguan jiwa, (khususnya gangguan jiwa akut seperti psikosis dan skizofrenia) dengan perasaan takut, jijik, dan menganggap mereka berbahaya.

KONSEP GANGGUAN JIWA
Pengertian
Konsep gangguan jiwa dari the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM)-IV (yang merupakan rujukan dari PPDGJ-III)16: gangguan jiwa dikonseptualisasikan secara klinis sebagai sindrom psikologis atau pola perilaku yang terdapat pada seorang individu dan diasosiasikan dengan distress (misalnya simptom yang menyakitkan) atau disabilitas (yakni, hendaya di dalam satu atau lebih wilayah fungsi yang penting) atau diasosiasikan dengan resiko mengalami kematian, penderitaan, disabilitas, atau kehilangan kebebasan diri yang penting sifatnya, yang meningkat secara signifikan.
Menurut American Psychiatric Association atau APA mendefinisikan gangguan jiwa pola perilaku/ sindrom, psikologis secara klinik terjadi pada individu berkaitan dengan distres yang dialami, misalnya gejala menyakitkan, ketunadayaan dalam hambatan arah fungsi lebih penting dengan peningkatan resiko kematian, penderitaan, nyeri, kehilangan kebebasan yang penting dan ketunadayaan (O’Brien, 2014).
Gangguan jiwa adalah bentuk dari manifestasi penyimpangan perilaku akibat distorsi emosi sehingga ditemukan tingkah laku dalam ketidak wajaran. Hal tersebut dapat terjadi karena semua fungsi kejiwaan menurun (Nasir, Abdul & Muhith, 2011).
Menurut Videbeck dalam Nasir, (2011) mengatakan bahwa kriteria umum gangguan adalah sebagai berikut :
a. Tidak puas hidup di dunia.
b. Ketidak puasan dengan karakteristik, kemampuan dan prestasi diri.
c. Koping yang tidak afektif dengan peristiwa kehidupan.
d. Tidak terjadi pertumbuhan personal.
Menurut Keliat dkk dalam Prabowo, (2014) mengatakan ada juga ciri dari gangguan jiwa yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Mengurung diri.
b. Tidak kenal orang lain.
c. Marah tanpa sebab.
d. Bicara kacau.
e. Tidak mampu merawat diri.

Penyebab

Gejala yang paling utama pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan, biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi terdapat beberapa penyebab dari beragai unsur yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan yang sering disebut dengan multicausa.
Menurut Suryani (2013), penyebab gangguan jiwa dapat dibedakan atas :



1. Pengalaman Traumatis

Sebuah survey yang dilakukan oleh Whitfield, Dubeb, Felitti, and Anda (2005) di San Diego, Amerika Serikat selama 4 tahun terhadap 50,000 pasien psychosis menemukan sebanyak 64% dari responden pernah mengalami trauma waktu mereka kecil (sexual abuse, physical abuse, emotional abuse, and substance abuse). Penelitian lain yang dilakukan oleh Hardy et al. (2005) di UK terhadap 75 pasien psychosis menemukan bahwa ada hubungan antara kejadian halusinasi dengan pengalaman trauma. 30,6% mereka yang mengalami halusinasi pernah mengalami trauma waktu masa kecil mereka.

2. Biologi

a. Faktor Genetik
Hingga saat ini belum ditemukan adanya gen tertentu yang menyebabkan terjadinya gangguan jiwa. Akan tetapi telah ditemukan adanya variasi dari multiple gen yang telah berkontribusi pada terganggunya fungsi otak (Mohr, 2003). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Health di Amerika serikat telah menemukan adanya variasi genetik pada 33000 pasien dgn diagnosa skizofrenia, Autis, ADHD, bipolar disorder dan mayor deppressive disorder. (NIH, USA, 2013). Penelitian tersebut menemukan bahwa Variasi CACNA1C dan CACNB2 diketahui telah mempengaruhi circuitry yang meliputi memori, perhatian, cara berpikir dan emosi (NIH, USA, 2013). Disamping itu juga telah ditemukan bahwa dari orang tua dan anak dapat menurunkan sebesar 10%. Dari keponakan atau cucu sebesar 2 – 4 % dan saudara kembar identik sebesar 48 %.

b. Faktor sturktur dan fungsi otak

Menurut Frisch & Frisch (2011), Hipoaktifitas lobus frontal telah menyebabkan afek menjadi tumpul, isolasi sosial dan apati. Sedangkan gangguan pada lobus temporal telah ditemukan terkait dengan munculnya waham, halusinasi dan ketidak mampuan mengenal objek atau wajah. Gangguan prefrontal pada pasien skizofrenia berhubungan dengan terjadinya gejala negatif seperti apati, afek tumpul serta miskin nya ide dan pembicaraan. Sedangkan pada bipolar disorder, gangguan profrontal telah menyebabkan munculnya episode depresi, perasaan tidak bertenaga dan sedih serta menurunnya kemampuan kognitif dan konsentrasi. Dsifungsi sistim limbik berkaitan erat dengan terjadinya waham , halusinasi, serta gangguan emosi dan perilaku. Penelitian terbaru menemukan penyebab AH adanya perubahan struktur dalam sirkuit syaraf yaitu adanya kerusakan dalam auditory spatial perception (Hunter et all,2010).

c. Faktor Neurotransmitter 

Menurut Frisch & Frisch (2011), Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus membawa sinyal di antara neuron. Neurotransmitter terdiri dari:
• Dopamin: berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan ingatan dan meningkatkan kewaspadaan mental.
• Serotonin: pengaturan tidur, persepsi nyeri, mengatur status mood dan temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi atau marah dan libido
• Norepinefrin: Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian dan orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran dan memory
• Asetilkolin: mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan pemusatan perhatian
• Glutamat: pengaturan kemampuan memori dan memelihara fungsi automatic

3. Faktor Psikoedukasi

Faktor ini juga tidak kalah pentingnya dalam kontribusinya terhadap terjadinya gangguan jiwa. Sebuah penelitian di Jawa yang dilakukan oleh Pebrianti, Wijayanti, dan Munjiati (2009) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tipe pola asuh keluarga dengan kejadian Skizofrenia. Sekitar 69 % dari responden (penderita skizofrenia) diasuh dengan pola otoriter, dan sekitar 16,7 % diasuh dengan pola permissive.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Erlina, Soewadi dan Pramono si Sumatra Barat tentang determinan faktor timbulnya skizofrenia menemukan bahwa pola asuh keluarga patogenik mempunyai risiko 4,5 kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan dengan pola asuh keluarga tidak patogenik. Adapun yang mereka maksud dengan pola suh patogenik tersebut antara lain:
1) Melindungi anak secara berlebihan karena memanjakannya
2) Melindungi anak secara berlebihan karena sikap “berkuasa” dan “harus tunduk saja”
3) Sikap penolakan terhadap kehadiran si anak (rejected child)
4) Menentukan norma-norma etika dan moral yang terlalu tinggi
5) Penanaman disiplin yang terlalu keras
6) Penetapan aturan yang tidak teratur atau yang bertentangan
7) Adanya perselisihan dan pertengkaran antara kedua orang tua
8) Perceraian
9) Persaingan dengan sibling yang tidak sehat
10) Nilai-nilai yang buruk (yang tidak bermoral)
11) Perfeksionisme dan ambisi (cita-cita yang terlalu tinggi bagi si anak)
12) Ayah dan atau ibu mengalami gangguan jiwa (psikotik atau non-psikotik)

Berkaitan dengan penelantaran anak, sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Schafer et al (2007) pada 30 pasien wanita dengan skizofrenia, menemukan adanya korelasi yang bermakna antara anak-anak yang ditelantarkan baik secara fisik maupun mental dengan gangguan jiwa. Pada analisis multivariabel, Schafer menemukan bahwa mereka yang mempunyai status ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk menderita ganguan jiwa skizofrenia dibanding dengan mereka yang mempunyai status ekonomi tinggi . Artinya mereka dari kelompok ekonomi rendah kemungkinan mempunyai risiko 7,4 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan mereka yang dari kelompok ekonomi tinggi.


4. Faktor Koping

Menurut Lazarus (2006), Ketika individu mengalami masalah, secara umum ada dua strategi koping yang biasanya digunakan oleh individu tersebut, yaitu:
• Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres
• Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan timbul akibat suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan.
Individu yang menggunakan problem–solving focused coping cenderung berorientasi pada pemecahan masalah yang dialaminya sehingga bisa terhindar dari stres yang berkepanjangan sebaliknya individu yang senantiasa menggunakan emotion-focused coping cenderung berfokus pada ego mereka sehingga masalah yang dihadapi tidak pernah ada pemecahannya yang membuat mereka mengalami stres yang berkepanjangan bahkan akhirnya bisa jatuh kekeadaan gangguan jiwa berat.

5. Stres Psikososial

Faktor stressor psikososial juga turut berkontribusi terhadap terjadinya gangguan jiwa. Seberapa berat stressor yang dialami seseorang sangat mempengaruhi respon dan koping mereka. Seseorang mengalami stressor yang berat seperti kehilangan suami tentunya berbeda dengan seseorang yang hanya mengalami strssor ringan seperti terkena macet dijalan. Banyaknya stressor dan seringnya mengalami sebuah stressor juga mempengaruhi respon dan koping. Seseorang yang mengalami banyak masalah tentu berbeda dengan seseorang yang tidak punya banyak masalah.

6. Pemahaman dan keyakinan agama

 Pemahaman dan keyakinan agama ternyata juga berkontribusi terhadap kejadian gangguan jiwa. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan ini. Sebuah penelitian ethnografi yang dilakukan oleh Saptandari (2001) di Jawa tengah melaporkan bahwa lemahnya iman dan kurangnya ibadah dalam kehidupan sehari – hari berhubungan dengan kejadian gangguan jiwa. Penelitian saya di tahun 2011 juga telah menemukan adanya hubungan antara kekuatan iman dengan kejadian gangguan jiwa. Pada pasien yang mengalami halusinasi pendengaran, halusinasinya tidak muncul kalau kondisi keimanan mereka kuat (Suryani, 2011).

STIGMA GANGGUAN JIWA

Stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan mental merupakan masalah global dan cukup penting bagi kesehatan masyarakat. Rendahnya tingkat pengetahuan, sikap stigma dan perilaku diskriminatif berdampak pada individu dan orang-orang terdekat dalam mencari bantuan (Thornicroft, 2008; Patel et al., 2010).
Stigma adalah istilah yang kompleks dan merupakan proses stereotip serta merugikan keseluruhan. Stereotip merupakan hasil pemahaman yang muncul dari melihat suatu tanda khas atau karakteristik dari kelompok sosial, misal orang dengan dengan pakaian putih-putih yang ada di rumah sakit berarti dia perawat. Stereotip berbeda dengan prasangka.
Stigma pada penderita gangguan mental merupakan konstruksi kognitif-perilaku (Crocker, Mayor, & Steele, 1998 dalam Corrigan, PsyD & Wassel, 2008) dimana dalam model ini menyampaikan bahwa proses perilaku manusia dalam tiga bagian: yaitu 1) isyarat situasional atau sinyal yang muncul sebagai indikasi terhadap respon perilaku, 2) apabila masuk akal sinyal tersebut akan masuk ke dalam pemahaman seseorang terhadap penderita gangguan jiwa, 3) perilaku terhadap kondisi tersebut.
Stigma masyarakat terhadap penderita gangguan mental mempunyai dampak negatif seperti dikucilkan dari masyarakat, diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan (Corbiere et al., 2011; Corrigan dan Shapiro, 2010) sehingga dapat menyebabkan pengobatan tidak adekuat dan mengurangi kebebasan (Corrigan dan Shapiro, 2010; ElBadri dan Mellsop, 2007) serta menghambat sosialisasi pada masyarakat (Farinal, 1998 dalam Aslhey & Randy, 2013).  
Perspektif masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa menegaskan adanya penarikan sosial dan penolakan dimana identitas dan perilaku individu dibentuk oleh konsepsi budaya penyakit mental (Link, 1982 dalam Perry, 2011) sehingga orang-orang yang mempunyai hubungan dengan penderita berusaha untuk mengatasi diskriminasi  dan untuk menghilangkan status yang berhubungan dengan identitas baru mereka dengan menjaga kerahasiaan menarik diri dari sosial (Link et al., 1989 dalam Perry, 2011). Mojtabai (2010) menyampaikan bahwa hidup di suatu daerah dengan sikap stigma yang tinggi dapat mempengaruhi sikap individu terhadap orang dengan masalah kesehatan mental.

Penyebab munculnya stigma

Dari beberapa pendapat para ahli kesehatan mental, faktor utama yang menjadi sebab terjadinya stigma gangguan jiwa antara lain adalah sebagai berikut: 
1. Adanya miskonsepsi mengenai gangguan jiwa karenanya kurangnya pemahaman mengenai gangguan jiwa, sehingga muncul anggapan bahwa gangguan jiwa identik dengan ’gila’
2. Adanya prediklesi secara psikologis sebagian masyarakat untuk percaya pada hal-hal gaib, sehingga ada asumsi bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh hal-hal yang bersifat supranatural, seperti mahluk halus, setan, roh jahat, atau akibat terkena pengaruh sihir. 

KESEHATAN JIWA DALAM ISLAM

Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (self) ataupun hati nurani (conscience of man). Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid.
Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam (QS Ar Ruum 30:30) yang Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. fitrah Allah dalam ayat ini maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid.
Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah (QS An Nahl 16:97) yang Artinya : “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan” Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman. 
(QS Ar Ra’ad 13:28) yang Artinya “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”
Ketika manusia melupakan Sang Maha Pencipta dan kehilangan God view-nya, kehidupan jadi hampa. Menjauhkan diri dari Sang Pencipta, berarti mengosongkan diri dari nilainilai imani. Sungguh merupakan “kerugian” terbesar bagi manusia selaku makhluk berdimensi spiritual. “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mendapat petunjuk.” (QS 2:16). “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (QS 13:28).
Ajaran Islam memberikan tuntunan kepada manusia dalam menghadapi cobaan dan mengatasi kesulitan hidupnya, seperti dengan cara sabar dan shalat, dalam firman Allah Swt dalam al-Qur`an yang menegaskan sebagai berikut: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orangorang yang sabar ". (QS Al Baqarah ayat 153). Pada umumnya sabar sering diartikan sebagai keteguhan hati dalam menghadapi cobaan dan kesulitan, serta keuletan menghadapi cita-cita. 
Ajaran Islam mengajarkan, penghayatan nilai-nilai ketakwaan dan keteladanan yang diberikan Nabi Muhammad SAW. Ajaran Islam memberikan tuntunan kepada akal agar benar dalam berpikir melalui bimbingan wahyu (kitab suci AlQur'an al Karim).
Islam beserta seluruh petunjuk yang ada yang ada di dalam al-Qur’an merupakan obat bagi jiwa atau penyembuh segala penyakit hati yang terdapat dalam diri manusia (rohani). Firman Allah Swt dalam surat Yunus 57). "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat (agama) dari Tuhanmu sebagai penyembuh bagi penyakit yang ada di dalam, dada (rohani), sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman".
Peranan agama Islam dapat membantu manusia dalam mengobati jiwanya dan mencegahnya dari gangguan kejiwaan serta membina kodisi kesehatan mental. Dengan menghayati dan mengamalkan ajaranajaran Islam manusia dapat memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup di dunia maupun akherat. 

Secara konseptual, kesehatan mental sebagai gambaran kondisi normal-sehat memiliki definisi yang beragam. hal dikarenakan, setiap ahli memiliki orientasi yang berbeda-beda dalam merumuskan kesehatan mental. 

Prof. Dr. Zakiah Daradjat (1985) 3 , mendefinisikan kesehatan mental dengan beberapa pengertian:
1. Terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala gejala penyakit jiwa (psychose). 
2. Kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. 
3. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain; serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa. 
4. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh sungguh antara fungsi fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.

Menurut Zakiah Daradjat, di balik keberagaman tersebut, ada empat rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut oleh para ahli, yakni rumusan kesehatan mental yang berorientasi pada simtomatis, penyesuaian diri, pengembangan potensi, dan agama/kerohanian. 

Di dalam pandangan Islam, kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik ( biologic), intelektual (rasio/cognitive), emosional (affective) dan spiritual (agama) yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Makna kesehatan mental mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan (vertikal), dan sesama manusia (horisontal) dan lingkungan alam.
Dihubungkan dengan pengertian Islam bahwa kesehatan mental dari sisi perspektif Islam merupakan suatu kemampuan diri individu dalam mengelola terwujudnya keserasian antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian dengan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya secara dinamis berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup menuju ke kebahagiaan dunia dan akhirat.
Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhamad Saw sangat sarat nilai dan bukan hanya mengenai satu segi, namun mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia, sebagaimana yang terkandung di dalam al-Qur’an. 
Dalam paradigma al-Qur’an, terdapat banyak sekali ayat-ayat yang membicarakan tentang kesehatan, baik itu dari segi fisik, kejiwaan, sosial dan kerohanian. Ayat-ayat ini terdiri dari dua bagian, yakni:
1. Konsep-konsep yang merujuk kepada pengertian normatif yang khusus, doktirndoktrin etik. Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep mengenai kesehatan, baik yang bersifat abstrak maupun yang kongkrit. Konsep yang abstrak di antaranya adalah konsep kondisi jiwa (psikologis), perasaan (em osi), akal dan lain sebagainya. Sementara konsep yang konkrit mengenai pola kepribadian manusia (personality), seperti pola kepribadian yang beriman, pola kepribadian munafik, dan pola kepribadian kafir. 
2. Ayat-ayat yang berisi tentang sejarah dan amsal-amsal (perumpamaan). Seperti kisah di dalam mengenai kesabaran Nabi Ayyub dalam m enghadapi ujian yang di timpakan oleh Allah berupa penyakit. Kisah ini tertuang dalam QS. al-Anbiyya’ (21) ayat 83-84 berikut ini: Artinya: ”Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: ”(Ya Tuhanku), Sesungguhnya Aku Telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Maka kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” 

Konsep kesehatan mental atau altibb al-ruhani pertama kali diperkenalkan dunia kedokteran Islam oleh seorang dokter dari Persia bernama Abu Zayd Ahmed ibnu Sahl al-Balkhi (850-934). Dalam kitabnya berjudul Masalih al-Abdan wa alAnfus (Makanan untuk Tubuh dan Jiwa), al-Balkhi berhasil menghubungkan penyakit antara tubuh dan jiwa. Ia biasa menggunakan istilah al-Tibb al-Ruhani untuk menjelaskan kesehatan spritual dan kesehatan psikologi. Sedangkan untuk kesehatan mental dia kerap menggunakan istilah Tibb al-Qalb.

Menurut al-Balkhi, badan dan jiwa bisa sehat dan bisa pula sakit. Inilah yang disebut keseimbangan dan ketidakseimbangan.Ketidakseimbangn dalam tubuh dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan rasa sakit dibadan. Sedangkan, ketidakseimbangan dalam jiwa dapat mencipatakan kemarahan, kegelisahan, kesedihan, dan gejala-gejala yang berhubungan dengan kejiwaan lainnya.
Selain al-Balkhi, peradaban Islam juga memiliki dokter kejiwaan bernama Ali ibnu Sahl Rabban alTabari. Lewat kitab Firdous alHikmah yang ditulisnya pada abad ke9M, dia telah mengembangkan psikoterapi untuk menyembuhkan pasien yang mengalami gangguan jiwa. Al-Tabari menekankan kuatnya hubungan antara psikologi dengan kedokteran. Al-Tabari menjelaskan, pasien kerap kali mengalami sakit karena imajinasi atau keyakinan yang sesat. Untuk mengobatinya, kata alTabari, dapat dilakukan melalui ''konseling bijak''. Terapi ini bisa dilakukan oleh seorang dokter yang cerdas dan punya humor yang tinggi. Caranya dengan membangkitkan kembali kepercayaan diri pasiennya.
Pemikir Muslim lainnya yang turut menyumbangkan pemikirannya untuk pengobatan penyakit kejiwaan adalah Al-Farabi. Ilmuwan termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait psikologi sosial dan berhubungan dengan studi kesadaran. Ibnu Zuhr, alias Avenzoar juga telah berhasil mengungkap penyakit syaraf secara akurat. Ibnu Zuhr juga telah memberi sumbangan yang berarti bagi neuropharmakology modern.  

Menurut Muhammad Mahmud, ada sembilan ciri atau karakteristik mental yang sehat, yakni: 

1. Kemapanan (al-sakinah), ketenangan (ath-thuma’ninah) dan rileks (ar-rahah) batin dalam menjalankan kewajiban, baik terhadap dirinya, masyarakat maupun Tuhan. 
2. Memadai (al-kifayah) dalam beraktivitas). 
3. Menerima keadaannya dirinya dan keadaan orang lain. 
4. Adanya kemampuan untuk menjaga diri. 
5. Kemampuan untuk memikul tanggung jawab, baik tanggung jawab keluarga, sosial, maupun agama. 
6. Memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat. 
7. Kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik yang dilandasi sikap saling percaya dan saling mengisi. 
8. Memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara baik. 
9. Adanya rasa kepuasan, kegembiraan (al-farh atau al -surur) dan kebahagiaan (al-sa’adah) dan menyikapi atau menerima nikmat yang diperoleh.   

Sumber:


Al-Quran Terjemahan. 2015. Departemen Agama RI. Bandung: CV Darus Sunnah.
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revision, DSM-IVTR. Arlington, VA: American Psychiatric Association.
Aslhey & Randy, (2013). The impact of stigma of mental illness in a canadian
community: a survey of patients experiences. Community Mental Health Journal
49.1 : 127-32.
Corbière, M., Zaniboni, S., Lecomte, T., Bond, G., Gilles, P. Y., Lesage, A., &
Goldner, E. (2011). Job acquisition for people with severe mental illness enrolled in

supported employment programs: A theoretically grounded empirical study.
Journal of occupational rehabilitation, 21(3), 342-354.
Corrigan, P. W., & Shapiro, J. R. (2010). Measuring the impact of programs that
challenge the public stigma of mental illness. Clinical Psychology Review, 30(8),
907-922.
Corrigan, P. W., PsyD, & Wassel, A., B.A. (2008). Understanding and influencing
the stigma of mental illness. Journal of Psychosocial Nursing & Mental Health
Services, 46(1), 42-8.
El-Badri, S., & Mellsop, G. (2007). Stigma and quality of life as experienced by
people with mental illness. Australian Psychiatry, 15(3), 195–200.
Frisch N., & Frisch A. (2011). Psychiatric mental health nursing. 4 ed. Australia: Delmar CENGAGE learning.Hawari, Dadang.2001. Manajemen Strees, Cemas, dan Depresi. Jakarta : Gaya Baru.
Hardy, A., Fowler, D., Freeman, D., Smith, B., Steel, S., Evans, J., Garety, … Dunn, G. (2005). Trauma and Hallucinatory Experience in Psychosis. Journal of Nervous & Mental Disease, 193, 501–507
Hunter, Eickhoff, Pheasant, Douglas, Watts , et al. (2010) The state of tranquility: Subjective perception is shaped by contextual modulation of auditory connectivity. Neuro Image 53: 611–618.
Lazarus, Richard S., & Folkman, Susan. 2006. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company
Mohr WK. (2003) Adverse Effect Associated with Physical Restraint, Can J Psychiatry, Vol 48,No 5.
Mojtabai, R. (2010). Mental illness stigma and willingness to seek mental health
care in the European Union. Social psychiatry and psychiatric epidemiology, 45(7),
705-712.
National Institute of health (NIH), USA (2013) Common Genetic Factors Found in 5 Mental Disorders,
O’Brien, G. P., Kennedy, Z. W., & Ballard, A. K. (2014). Keperawatan Kesehatan Jiwa Psikiatrik. Jakarta: EGC.
Patel, M Maj, AJ Flisher, MJ DE Silva, M Koschorke, M Prince (2010). Reducing
the treatment gap for mental disorders: a WPA survey. World Psychiatry 9, 169-
176.
Pebrianti, S., Wijayanti, R., dan Munjiati (2009). Hubungan tipe pola asuh keluarga dengan kejadian skizofrenia. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 4 (1)
Perry, B. L. (2011). The labeling paradox: Stigma, the sick role, and social
networks in mental illness. Journal of Health and Social Behavior, 52(4), 460-77.
Prabowo, E. 2014. Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : Nuha Medika
Schaffer et al.(2007). Pencegahan Infeksi dan Praktik Yang Aman. Jakarta: EGC.
Suryani (2013). Mengenal gejala dan penyebab gangguan jiwa.
Thornicroft (2008). Stigma and discrimination limit access to mental health care.
Epidemiologia e Psichiatria Sociale 17, 14-19
Zakiah Drajat, Kesehatan mental, (Jakarta: Gunung Agung,1985)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pulseless Electrical Activity (PEA) dan Asistol

PEA merupakan irama jantung yang bukan ventrikel fibrilasi (VF), bukan ventrikel takikardi dan bukan asistol pada pasien tanpa nadi. B...