Istilah kesehatan
jiwa ini sering disalahpahami dan ditafsirkan sebagai gangguan jiwa dan hal
tersebut dapat membingungkan bagi masyarakat umum. Hal tersebut dapat diantisipasi atau bahkan dihindari jiwa individu berpikir tentang kesehatan/penyakit sebagai konsep yang terpisah (kesehatan jiwa dan gangguan jiwa).
Menurut UU No.
18 tahun 2014 pasal 1 disebutkan kesehatan jiwa adalah “kondisi dimana seorang
individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga
individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat
bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya”. Kesehatan
jiwa adalah keadaan seseorang yang sehat/baik yang berhubungan dengan
kebahagiaan, kepuasan, kepuasan, prestasi, optimis dan harapan (Stuart, 2013). Sedangkan
menurut WHO (2007) kesehatan jiwa adalah “keadaan sejahtera dimana seseorang
menyadari potensi dirinya, dapat mengatasi tekanan dalam kehidupan, dapat bekerja
secara produktif dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya”.
Jadi
kesehatan jiwa merupakan kondisi seseorang yang sehat dan bahagia serta mampu
berkembang sesuai dengan tahapannya untuk tetap produktif dan bermanfaat bagi
komunitasnya.
Gangguan jiwa
merupakan pola perilaku atau psikologis seseorang yang dapat menyebabkan
penderitaan yang signifikan seperti gangguan fungsi sehari-hari dan penurunan
kualitas hidup (Stuart, 2013). Sedangkan menurut DSM IV gangguan jiwa adalah
sindroma psikologis atau pola perilaku yang terjadi pada seseorang dan
menyebabkan penderitaan melalui gejala yang menyakitkan dan mampu meningkatkan
risiko kesakitan dan kematian (APA, 2000). Sedangkan orang dengan gangguan jiwa
(ODGJ) adalah seseorang yang mengalami gangguan pikiran, perilaku dan perasaan
yang dimanifestasikan dalam bentuk sindrom dan atau perubahan perilaku yang
bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan
fungsi orang sebagai manusia (UU No. 18 tahun 2014).
Gangguan jiwa dapat
disimpulkan sebagai gangguan yang dialami oleh seseorang yang menyebabkan
perubahan fungsinya sebagai manusia dalam perilaku, perasaan dan pikiran.
Gangguan jiwa
dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu neuroses
dan psychosis (Stuart, 2013). Neurosis merupakan masalah gangguan
jiwa ringan yang umum terjadi di masyarakat seperti piromania, gangguan
obsesif-kompulsif, kecemasan neurosis, histeria dan fobia (Kazmi, Pervez & Waheed, 2011). Psychosis merupakan gangguan jiwa dengan
gejala kehilangan rasa kenyataan (sense
of reality). Kelainan ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan
pada perasaan, pikiran, kemauan, motorik yang berat sehingga perilaku penderita
tidak sesuai dengan kenyataan (Maramis, 2005). Perilaku penderita psikosis tidak
dapat dimengerti oleh orang awam seperti bicara dan senyum-senyum sendiri,
tiba-tiba marah dan mengamuk sehingga mereka menyebut penderita sebagai “orang
gila”. Buizza et al., (2007)
menyebutkan kualitas hidup seseorang yang mengalami gangguan jiwa tergantung
pada tingkat keparahan penyakit, konsekuensinya pada kehidupan mereka dan pada
tingkat integrasi dan penerimaan mereka di masyarakat. Jadi selama ini yang
masyarkat awam anggap sebagai gangguan jiwa termasuk dalam golongan psikosis.
Menurut DSM-IV-TR
(APA, 2000), gangguan jiwa dapat digolongkan berdasarkan tanda dan gejala yang terdapat
pada seseorang dengan pendekatan prototype
dan dikatakan bahwa orang tersebut mengalami gangguan. Dalam DSM-IV-TR terdapat
multi-axial system yang mengatur setiap diagnosis psikiatri menjadi
lima tingkatan (sumbu) yang berkaitan dengan aspek yang berbeda dari gangguan
atau cacat: (1) Axis I: Gangguan klinis (semua gangguan jiwa seperti depresi,
skizofrenia, bipolar disorder dan sebagainya kecuali gangguan kepribadian dan retardasi
mental), (2) Axis II: gangguan kepribadian dan keterbelakangan mental, (3) Axis
III: kondisi medis umum yang berhubungan dengan gangguan jiwa, (4) Axis IV:
faktor psikososial dan lingkungan yang berkontribusi terhadap gangguan jiwa dan
Axis V: Global assessment of functioning
untuk psikologis, fungsi sosial dan pekerjaan yang berhubungan dengan kontinum
antara kesehatan jiwa dan gangguan jiwa yang ekstrim.
Penyebab gangguan jiwa biasanya tidak tunggal,
tetapi multikausa (beberapa penyebab). Biasanya disebabkan oleh beberapa penyebab yang saling
mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan (Maramis, 2005). Dalam model
stress adaptasi, Stuart (2013) menyebutkan beberapa faktor yang
mendukung seseorang mengalami gangguan jiwa yang terdiri dari faktor biologi,
psikologi, dan sosikultural. Beberapa
faktor biologi yang berhubungan dengan gangguan jiwa antara lain; keturunan, dimana
terdapat penelitian pada orang tua yang mengalami gangguan jiwa mempunyai
resiko 5,6% dan saudara kandung 10,1% (Yosep, 2014), sedangkan pada kembar
identik beresiko 59,2% dan kembar fraternal 15,2% (Yosep, 2014), kemudian gangguan
neurotransmitter seperti tingkat dopamin mRNA yang berlebihan dapat menyebabkan
skizofrenia (Liu et al., 2013).
Sementara itu faktor
psikologis dari gangguan jiwa antara lain; tingkat intelegensi, penelitian yang
dilakukan oleh Mikkelsen, et.al, (2014) menyebutkan
bahwa tingkat IQ penderita yang mengalami gangguan jiwa lebih rendah dari pada
yang tidak mengalami gangguan jiwa. Kemudian tipe kepribadian yang introvert (Supriani, 2011) dan pengalaman
hidup yang tidak menyenangkan seperti kekerasan fisik dan seksual juga akan
mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang (Stuart, 2013).
Faktor ketiga yang mendukung gangguan jiwa dari konsep
stress adaptasi Stuart yaitu faktor sosial budaya, antara lain; faktor spiritual
sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Sodhi & Manju (2014) yang menyampaikan
bahwa faktor religiusitas dan spiritual secara signifikan berpengaruh terhadap
kesehatan jiwa seseorang. Kemudian status sosial ekonomi yang rendah juga
mempunyai pengaruh terhadap kesehatan jiwa seseorang (Stuart, 2013).
Sedangkan Varcarolis & Halter
(2010) menyebutkan faktor yang berhubungan dengan gangguan jiwa antara lain; sistem
pendukung yang tersedia (teman, keluarga, masyarakat), pengaruh agama/spiritual,
pengaruh keluarga, masalah dalam tumbuh-kembang, status kepribadian, lokasi
demografis dan geografis, pengaruh negatif (stresor psikososial, kemiskinan, gangguan
pada orangtua), keyakinan budaya dan nilai-nilai, praktik kesehatan dan
kepercayaan, pengaruh hormonal, pengaruh biologis, faktor keturunan dan pengalaman
lingkungan.
Gangguan
jiwa dapat menyebabkan berbagai dampak baik bagi individu maupun keluarga.
Dampak terhadap individu menurut Evans, Banerjee, Leese & Huxley (2007) yaitu menurunnya
kualitas hidup. Bahkan menurut Colton & Manderscheid (2006), penderita
gangguan jiwa berat dapat meninggal 25 tahun lebih awal dari masyarakat yang
tidak mengalami gangguan jiwa. Sedangkan dampak bagi keluarga yaitu menjadikan beban terkait kerepotan
dan biaya dalam merawat penderita (Subandi, 2008). Bahkan (WHO
memperkirakan kesehatan jiwa merupakan penyebab terbesar kedua beban penyakit
dan kecacatan (Mathers, Fat & Boerma, 2008).
Setiap penderita maupun
keluarga berharap akan kesembuhan gangguan yang dialami penderita. Terdapat
beberapa faktor yang menghambat kesembuhan dari penderita, antara lain;
perawatan yang tidak menyeluruh (tidak hanya minum obat saja tapi juga terdapat
terapi lain seperti terapi psiologis, psikososial dam psikoreligius) (Hawari,
2009), anggapan penderita sebagai “orang gila” (Suryani, 2012), persepsi
negatif masyarakat pada penderita gangguan jiwa seperti berbahaya,
perlu dihindari dan mengganggu masyarakat (Sugiharto, 2012; Corrigan,
Kuwarbara,
& O’Shaughnessy, 2009), perlakuan yang
diterima penderita seperti dijauhi, diejek dan dikucilkan dari masyarakat umum
(Suryani, 2012; Corrigan dan Shapiro 2010). Persepsi dan perlakuan negatif
tersebut disebut dengan stigma.
Jadi perawatan yang tidak menyeluruh dan stigma
pada masyarakat dapat menghambat kesembuhan penderita gangguan jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar