Sabtu, 22 Oktober 2016

Syarat dan Alur Perpanjangan STR

Dalam menjalankan tugasnya sebagai bagian dari keseluruhan tenaga kesehatan yang ada di Indonesia, seorang tenaga kesehatan termasuk seorang perawat tentunya membutuhkan surat tanda registrasi (STR) untuk tenaga kesehatan dan juga untuk tenaga kesehatan lainnya. Surat Tanda Registrasi yang disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan ang telah memiliki sertifikat kompetensi. dengan STR, maka perawat dapat melakukan aktivitas pelayanan kesehatan.

Demikian juga para perawat yang merupakan bagian dari tenaga kesehatan juga harus memiliki STR Perawat yang harus dilalui dengan uji kompetensi perawat juga.


Peraturan pemerintah melalui Kementrian Kesehatan juga telah mengatur akan proses pembuatan dan syarat pembuatan STR perawat dan tenaga kesehatan lainnya sebagaimana telah tercantum dalam PERMENKES RI NO. 1796/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan


Berikut kami sampaikan berbagai syarat dan alur beserta berkas-berkas yang harus disiapkan maupun diisi untuk mengurus perpanjangan STR (contoh dari komisariat UMMagelang)



Demikian tadi beberapa hal yang harus diisi dan disiapkan untuk perpanjangan STR
Insyaallah berikutnya akan kami sampaikan bagaimana mekanisme perpanjangan STR secara online

Terimakasih dan semoga bermanfaat

Jumat, 14 Oktober 2016

GANGGUAN JIWA

Istilah kesehatan jiwa ini sering disalahpahami dan ditafsirkan sebagai gangguan jiwa dan hal tersebut dapat membingungkan bagi masyarakat umum. Hal tersebut dapat diantisipasi atau bahkan dihindari jiwa individu berpikir tentang kesehatan/penyakit sebagai konsep yang terpisah (kesehatan jiwa dan gangguan jiwa). 
Menurut UU No. 18 tahun 2014 pasal 1 disebutkan kesehatan jiwa adalah “kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya”. Kesehatan jiwa adalah keadaan seseorang yang sehat/baik yang berhubungan dengan kebahagiaan, kepuasan, kepuasan, prestasi, optimis dan harapan (Stuart, 2013). Sedangkan menurut WHO (2007) kesehatan jiwa adalah “keadaan sejahtera dimana seseorang menyadari potensi dirinya, dapat mengatasi tekanan dalam kehidupan, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya”. 
Jadi kesehatan jiwa merupakan kondisi seseorang yang sehat dan bahagia serta mampu berkembang sesuai dengan tahapannya untuk tetap produktif dan bermanfaat bagi komunitasnya.
Gangguan jiwa merupakan pola perilaku atau psikologis seseorang yang dapat menyebabkan penderitaan yang signifikan seperti gangguan fungsi sehari-hari dan penurunan kualitas hidup (Stuart, 2013). Sedangkan menurut DSM IV gangguan jiwa adalah sindroma psikologis atau pola perilaku yang terjadi pada seseorang dan menyebabkan penderitaan melalui gejala yang menyakitkan dan mampu meningkatkan risiko kesakitan dan kematian (APA, 2000). Sedangkan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah seseorang yang mengalami gangguan pikiran, perilaku dan perasaan yang dimanifestasikan dalam bentuk sindrom dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia (UU No. 18 tahun 2014). 
Gangguan jiwa dapat disimpulkan sebagai gangguan yang dialami oleh seseorang yang menyebabkan perubahan fungsinya sebagai manusia dalam perilaku, perasaan dan pikiran.
Gangguan jiwa dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu neuroses dan psychosis (Stuart, 2013). Neurosis merupakan masalah gangguan jiwa ringan yang umum terjadi di masyarakat seperti piromania, gangguan obsesif-kompulsif, kecemasan neurosis, histeria dan fobia (Kazmi, Pervez & Waheed, 2011). Psychosis merupakan gangguan jiwa dengan gejala kehilangan rasa kenyataan (sense of reality). Kelainan ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan pada perasaan, pikiran, kemauan, motorik yang berat sehingga perilaku penderita tidak sesuai dengan kenyataan (Maramis, 2005). Perilaku penderita psikosis tidak dapat dimengerti oleh orang awam seperti bicara dan senyum-senyum sendiri, tiba-tiba marah dan mengamuk sehingga mereka menyebut penderita sebagai “orang gila”. Buizza et al., (2007) menyebutkan kualitas hidup seseorang yang mengalami gangguan jiwa tergantung pada tingkat keparahan penyakit, konsekuensinya pada kehidupan mereka dan pada tingkat integrasi dan penerimaan mereka di masyarakat. Jadi selama ini yang masyarkat awam anggap sebagai gangguan jiwa termasuk dalam golongan psikosis.
Menurut DSM-IV-TR (APA, 2000), gangguan jiwa dapat digolongkan berdasarkan tanda dan gejala yang terdapat pada seseorang dengan pendekatan prototype dan dikatakan bahwa orang tersebut mengalami gangguan. Dalam DSM-IV-TR terdapat multi-axial system yang  mengatur setiap diagnosis psikiatri menjadi lima tingkatan (sumbu) yang berkaitan dengan aspek yang berbeda dari gangguan atau cacat: (1) Axis I: Gangguan klinis (semua gangguan jiwa seperti depresi, skizofrenia, bipolar disorder dan sebagainya kecuali gangguan kepribadian dan retardasi mental), (2) Axis II: gangguan kepribadian dan keterbelakangan mental, (3) Axis III: kondisi medis umum yang berhubungan dengan gangguan jiwa, (4) Axis IV: faktor psikososial dan lingkungan yang berkontribusi terhadap gangguan jiwa dan Axis V: Global assessment of functioning untuk psikologis, fungsi sosial dan pekerjaan yang berhubungan dengan kontinum antara kesehatan jiwa dan gangguan jiwa yang ekstrim.
Penyebab gangguan jiwa biasanya tidak tunggal, tetapi multikausa (beberapa penyebab). Biasanya disebabkan oleh beberapa penyebab yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan (Maramis, 2005). Dalam model stress adaptasi, Stuart (2013) menyebutkan beberapa faktor yang mendukung seseorang mengalami gangguan jiwa yang terdiri dari faktor biologi, psikologi, dan sosikultural.  Beberapa faktor biologi yang berhubungan dengan gangguan jiwa antara lain; keturunan, dimana terdapat penelitian pada orang tua yang mengalami gangguan jiwa mempunyai resiko 5,6% dan saudara kandung 10,1% (Yosep, 2014), sedangkan pada kembar identik beresiko 59,2% dan kembar fraternal 15,2% (Yosep, 2014), kemudian gangguan neurotransmitter seperti tingkat dopamin mRNA yang berlebihan dapat menyebabkan skizofrenia (Liu et al., 2013). 
Sementara itu faktor psikologis dari gangguan jiwa antara lain; tingkat intelegensi, penelitian yang dilakukan oleh Mikkelsen, et.al, (2014) menyebutkan bahwa tingkat IQ penderita yang mengalami gangguan jiwa lebih rendah dari pada yang tidak mengalami gangguan jiwa. Kemudian tipe kepribadian yang introvert (Supriani, 2011) dan pengalaman hidup yang tidak menyenangkan seperti kekerasan fisik dan seksual juga akan mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang (Stuart, 2013).
Faktor ketiga yang mendukung gangguan jiwa dari konsep stress adaptasi Stuart yaitu faktor sosial budaya, antara lain; faktor spiritual sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Sodhi & Manju (2014) yang menyampaikan bahwa faktor religiusitas dan spiritual secara signifikan berpengaruh terhadap kesehatan jiwa seseorang. Kemudian status sosial ekonomi yang rendah juga mempunyai pengaruh terhadap kesehatan jiwa seseorang (Stuart, 2013).
Sedangkan Varcarolis & Halter (2010) menyebutkan faktor yang berhubungan dengan gangguan jiwa antara lain; sistem pendukung yang tersedia (teman, keluarga, masyarakat), pengaruh agama/spiritual, pengaruh keluarga, masalah dalam tumbuh-kembang, status kepribadian, lokasi demografis dan geografis, pengaruh negatif (stresor psikososial, kemiskinan, gangguan pada orangtua), keyakinan budaya dan nilai-nilai, praktik kesehatan dan kepercayaan, pengaruh hormonal, pengaruh biologis, faktor keturunan dan pengalaman lingkungan.
Gangguan jiwa dapat menyebabkan berbagai dampak baik bagi individu maupun keluarga. Dampak terhadap individu menurut Evans, Banerjee, Leese & Huxley (2007) yaitu menurunnya kualitas hidup. Bahkan menurut Colton & Manderscheid (2006), penderita gangguan jiwa berat dapat meninggal 25 tahun lebih awal dari masyarakat yang tidak mengalami gangguan jiwa. Sedangkan dampak bagi keluarga yaitu menjadikan beban terkait kerepotan dan biaya dalam merawat penderita (Subandi, 2008). Bahkan (WHO memperkirakan kesehatan jiwa merupakan penyebab terbesar kedua beban penyakit dan kecacatan (Mathers, Fat & Boerma, 2008).
Setiap penderita maupun keluarga berharap akan kesembuhan gangguan yang dialami penderita. Terdapat beberapa faktor yang menghambat kesembuhan dari penderita, antara lain; perawatan yang tidak menyeluruh (tidak hanya minum obat saja tapi juga terdapat terapi lain seperti terapi psiologis, psikososial dam psikoreligius) (Hawari, 2009), anggapan penderita sebagai “orang gila” (Suryani, 2012), persepsi negatif masyarakat pada penderita gangguan jiwa seperti berbahaya, perlu dihindari dan mengganggu masyarakat (Sugiharto, 2012; Corrigan, Kuwarbara, & O’Shaughnessy, 2009), perlakuan yang diterima penderita seperti dijauhi, diejek dan dikucilkan dari masyarakat umum (Suryani, 2012; Corrigan dan Shapiro 2010). Persepsi dan perlakuan negatif tersebut disebut dengan stigma. 
Jadi perawatan yang tidak menyeluruh dan stigma pada masyarakat dapat menghambat kesembuhan penderita gangguan jiwa.

Pulseless Electrical Activity (PEA) dan Asistol

PEA merupakan irama jantung yang bukan ventrikel fibrilasi (VF), bukan ventrikel takikardi dan bukan asistol pada pasien tanpa nadi. B...